The number one reason why people turn down job offers is because they are offered another. 26% of candidates say they left the hiring process because it “took too long”. In the competitive market, first-to-offer has the first pick of talent. If you move slowly, you don’t just lose the best candidates – you also lose revenue.
Surface the qualities that matter
Their timing, on their device
Better fit, longer stay
Secure top candidates quicker
The number one reason why people turn down job offers is because they are offered another. 26% of candidates say they left the hiring process because it “took too long”. In the competitive market, first-to-offer has the first pick of talent. If you move slowly, you don’t just lose the best candidates – you also lose revenue.
Surface the qualities that matter
Their timing, on their device
Better fit, longer stay
Secure top candidates quicker
Ketika membandingkan on the job training dan off the job training, dua metode pelatihan ini memiliki keunggulan masing-masing.
Table of Contents
ToggleMetode ini menekankan praktik langsung di tempat kerja, dengan media dan situasi nyata sebagai sarana belajar. Peserta tumbuh kompeten melalui praktik harian, tanpa meninggalkan tugas utamanya. Umpan balik terjadi secara instan dari mentor, sehingga pencapaian keterampilan lebih cepat.
Melibatkan alat kerja nyata dan mentor internal membuat OJT hemat biaya dan relevan dengan kebutuhan organisasi. Sebuah perusahaan besar bisa langsung memanfaatkan lini produksi untuk melatih operator baru tanpa perlu infrastruktur tambahan.
Pelatihan off the job training diadakan di luar lingkungan kerja—seperti ruang kelas, e‑learning, workshop, atau simulasi. Metode ini ideal untuk membangun teori, soft skills, kemampuan manajerial, dan kreativitas.
Kelebihan utamanya adalah struktur yang sistematis dan kualitas materi yang baik karena biasanya disediakan oleh penyedia pelatihan eksternal. Namun, untuk menyelenggarakannya diperlukan biaya lebih tinggi, perangkat pelatihan, dan waktu yang bisa mengganggu jam kerja.
Dengan OJT, karyawan tidak perlu meninggalkan lingkungan kerja, sehingga tidak ada biaya transportasi, akomodasi, atau ruang tambahan. Perusahaan hanya membutuhkan mentor dan jadwal yang disesuaikan.
Pembelajaran langsung menghindarkan jarak antara teori dan praktik. Peserta tidak hanya memahami cara kerja sistem, tetapi juga menguasai troubleshooting dan kecermatan dalam tugas.
Saat belajar langsung di lapangan, peserta menemukan banyak situasi interpersonal—mulai dari koordinasi dengan tim hingga komunikasi dengan pelanggan. Mentor hadir sebagai fasilitator sekaligus role model.
Melalui interaksi harian dengan tim, peserta baru memahami nilai, norma, dan budaya kerja yang berlaku. Hal ini mempercepat rasa nyaman dan keterikatan dengan organisasi.
Meskipun banyak manfaatnya, OJT juga memiliki tantangan. Kualitas pengalaman sangat bergantung pada mentor, dan jika mentor kurang terstruktur atau tidak sabar, hasilnya bisa kurang optimal. Selain itu, dengan peserta yang baru belajar, potensi kesalahan bisa memengaruhi produktivitas dan kualitas layanan.
Dokumentasi, evaluasi, dan standarisasi proses pelatihan juga sering diabaikan karena sifatnya informal. Namun, tanpa pencatatan, perusahaan kehilangan kesempatan memperbaiki atau mengulangi metode dengan kualitas konsisten.
Salah satu cara terbaik adalah dengan sistem pendampingan satu-satu. Seorang mentor menjelaskan, menunjukkan, dan mengawasi langsung cakupan pekerjaan, langkah-langkah, dan standar yang diharapkan.
Peserta dipindahkan ke beberapa posisi atau divisi dalam periode waktu tertentu. Dengan cara ini, mereka mendapatkan gambaran lebih luas mengenai bisnis dan proses lintas fungsi, serta memahami keterkaitan antara setiap pekerjaan.
Peserta bekerja berdampingan dengan pegawai senior, mengobservasi dan meniru cara kerja, interaksi, serta pemecahan masalah. Setelah observasi, peserta diberi kesempatan mencoba dengan pengawasan langsung.
Peserta diberi tanggung jawab proyek kecil yang mencakup berbagai aspek pekerjaan. Ini memaksa mereka menggabungkan teori dan praktik, serta meningkatkan kemampuan problem solving dan inisiatif.
Langkah pertama adalah memahami kompetensi dan kebutuhan pelatihan perusahaan dengan menganalisis gap keterampilan yang ada. Setelah diketahui, susun rencana yang mencakup tugas, materi, durasi, dan evaluasi.
Pemilihan mentor adalah inti utama. Mentor tidak hanya harus ahli dalam tugasnya, tetapi juga mampu menjelaskan secara sistematis dan memberi umpan balik konstruktif. Banyak perusahaan memberi pelatihan “train‑the‑trainer” agar mentor siap memimpin.
Pelaksanaan OJT sebaiknya dimulai dari tugas sederhana, lalu meningkat kompleksitasnya. Evaluasi rutin memberikan data tentang perkembangan peserta. Indikator seperti kecepatan tugas, jumlah kesalahan, dan kepuasan internal menjadi tolok ukur.
Terakhir, dokumentasi berfungsi sebagai referensi di masa mendatang—untuk training ulang, replikasi program, atau continuous improvement.
Pendekatan terbaik umumnya kombinasi dari dua metode pelatihan. Program dimulai dengan off the job training berupa teori dan simulasi. Setelah dasar terbentuk, peserta ditempatkan langsung di lapangan melalui OJT.
Strategi ini memastikan penguatan teori melalui praktik nyata. Contohnya: sesi teori customer service diadakan dalam kelas, dilanjutkan praktik langsung di lapangan dengan pengamatan mentor. Evaluasi pun dilakukan dalam dua tahap: penilaian pemahaman teori dan penilaian kinerja saat praktik.
Di ritel, OJT sering terjadi saat karyawan baru belajar menggunakan sistem POS dan berinteraksi dengan pelanggan secara langsung. Startup teknologi menggunakan OJT untuk pelatihan sistem internal—seperti platform data atau manajemen proyek—dan diseleksi oleh mentor senior.
Sementara di pabrik, OJT adalah cara paling efektif untuk pelatihan operator mesin atau quality control. Melalui pendampingan intensif, peserta belajar standar keamanan, efisiensi, dan perawatan. Di sektor hospitality seperti hotel dan restoran, OJT memandu karyawan baru dalam layanan tamu, kebersihan, dan SOP operasional.
On the job training (OJT) adalah strategi pelatihan praktis yang cepat dan hemat biaya, ideal untuk keterampilan operasional langsung. Sementara off the job training memperkuat teori dan soft skills. Kombinasi keduanya menciptakan program pelatihan komprehensif yang efektif.
Untuk memaksimalkan hasil, perusahaan perlu: melakukan analisis kebutuhan kompetensi, merancang modul dengan mentor berkualitas, melaksanakan pelatihan bertahap, menyediakan evaluasi rutin, serta mendokumentasikan proses. Pendekatan strategis seperti ini tidak hanya meningkatkan produktivitas, tetapi juga memperkuat budaya pembelajaran dan retensi karyawan.
Dengan struktur dan pendekatan yang tepat, organisasi dapat menghasilkan karyawan yang kompeten dan siap menghadapi dinamika pekerjaan. On the job training (OJT) yang terencana, didukung evaluasi yang jelas, akan mempercepat pertumbuhan individu dan tim.
Untuk rekomendasi area pengembangan karyawan yang lebih akurat dan berbasis data, kunjungi halaman DEUS Discover dan temukan solusi gamifikasi yang mampu mengungkap potensi serta kompetensi karyawan secara menyeluruh.